Seorang tokoh adat sedang pimpin Lw Wuni pada sebuah upacara adat di Wamena - Noken Wene / Ronny
Seorang tokoh adat sedang pimpin Le Wuni pada sebuah upacara adat di Wamena – Noken Wene / Ronny Hisage

Wamena, nokenwene.com – Satu lagi keunikan budaya orang Papua di Wamena yaitu  Le Huni atau Wuni. Le: Menangis / Tangisan, Huni/ Wuni atau dengan sebutan lain Etai: Lagu. Jadi Le Wuni berarti, menangis atau tangisan yang berirama dan membentuk syair lagu, atau sebuah lagu yang dinyanyikan secara bersama-sama melalui tangisan.

Hampir semua suku di Pegunungan Tengah Papua memiliki budaya Le Wuni, masing-masing menyebutnya dengan bahasanya sendiri, suku Lanny misalnya menyebutnya dengan Le Ndawi, Nduga: Yip Ndawi,  suku Walak: De Bela dan  suku Dani di Lembah Baliem  Wamena Menyebut Le Huni atau Le Wuni. Yang arti dari semua sebutan itu adalah tangisan yang membentuk lagu. Cara pembawan masing-masing suku hampir-hampir mirip , umunya dilantunkan dengan membentuk lagu.

Le Wuni ala budaya Baliem Wamena, terdiri dari dua bagian yaitu, Le Isa dan Le Ekake. Isa: Induk atau yang memimpin syair Le, urutan kalimat yang ditutrkan dalam Le, sedangkan, Ekake: anggota kelompok/ pengucapan syair Le secara bersama-sama.   Le Isa,  adalah alur kisah, lagu ungkapan cerita kesedihan, atau kalao lagu modern biasa disebut Lirik. Le Isa biasa dikisahkan atau dinyanyikan oleh satu orang sebagai pemimpin tangisan melalui cerita-cerita sedih yang membentuk syair. sedangkan Le Ekake akan diucapkan secara bersama-sama dalam satu kelompok, setelah dengar kisa dalam syiar dari seng pempinm melalui Le Isa.

Tangisan merupakan suatu reaksi ungkapan atau luapan isi hati dan sebagai pesan bagi dunia luar atau sekitar.  Seorang penyair Persia, Muhtasyame Kasyani, berkata, “Janganlah engkao memandang hina airmataku karena ia merupakan sari darah hatiku”.

Sama halnya orang lain di belahan bumi lain, menangis sebagai ungkapan rasa kesedihan, atas sesuatu yang benar-benar menyentuh hati, demikian pulah bagi orang Lembah Baliem Wamena, tapi bedanya ungkapan itu diwujudkan melalui nyanyian secara bersama-sama yang dipimpin oleh satu orang: Le Wuni, perasaan sedih yang diungkap melalui sebuah irama lagu/ syair yang dapat dipimpin satu orang dan diikuti anggota kelompoknya. Jadi menangis ala budaya Wamena bisa dipimpin satu orang.

Menangis kok dipimpin satu orang, pake lagu segala? Ya.. kedengarannya aneh tapi kenyatan itu ada, dan itu dimiliki oleh orang Lembah Baliem Wamena, dan suku-suku di Pegunungan Papa sebagai budaya yang di wariskan oleh nenek moyang sejak turun – temurun.

Selain Le Wuni, ada juga budaya Etai atau Ewe Etai/ Ewetai, juga terdiri dari dua bagian yaitu Etai Isa dan Etai ekake, cara berirama dan pemimpin untuk kedua seni budaya ini hamper mirip, keduanya dipimpin oleh satu orang dan membentuk irama / syair lagu yang pada bagian tertentu dinyanyikan bersama dengan anggota kelompok, tapi bedanya Le Wuni untuk ungkapan rasa duka dan kesedihan dan dibawahkan dengan nada sedih, sedangkan Etai atau Ewetai untuk tujuan sebaliknya, ungkapan rasa kebanggaan atas kemenangan atau keberhasilan, pengucapannya lebih bersemangat dan gembira, ada juga sambil atraksi ada pembagian suara tinggi rendah dan suara beck up. Hingga saat ini, Ewetai biasanya dinyanyikan pada Upacara Pernikahan adat dan syukuran adat lainnya serta acara besar yang melibatkan pemerintah.

Bagi orang Wamena, Le Wuni, tercipta ketika masa perang suku pada jaman nenek moyang dulu, dimana saat perang suku kala itu, ada anggota keluarga yang dibunuh oleh suku lain, sehingga keluarga dan suku korban yang merasa kehilangan mengungkapkan kesedihan mereka melalui tangisan dan dan terbentuklah syair yang dipimpin oleh seorang kepala suku dan diiringi anggota sukunya. Kepala suku atau pemimpin irama tangisan menceritakan beberapa kisa semasa korban masih hidup, dan kisa-kisa lain yang berkaitan dengan perang suku tersebut, dan tentu punya makna sangat mendalam, maka terciptalah Le Wuni. Sebaliknya, suku yang memenangkan perang, mengungkapkan kebanggan atas kemenangannya melalui Etai/Ewetai, sebagai symbol kemenangan dan menunjukan kekuatan sukunya.

Bagi anda yang perna menyaksikan perang-perangan pada Even tahunan Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) Wamena, praktek ini selalu ditampilkan di sana. Itu adalah awal kisa terciptanya Le Wuni atau  lagu tangisan atau sebagai ungkapan kesedihan, dan Ewetai, kebanggaan bagi yang menangkan peperangan.

Selain untuk kehilangan anggota suku, pada jaman dahulu, syair Le Wuni juga tercipta karena kesedihan atas hutan dan alam serta tanah yang dikuasai musuh ketika perang suku. Suku yang kehikngan lahan dan hutannya dikuasai pihak musuh saat perang, mereka mengungkakan kesediahannya dengan menciptakan Le Wuni sebagai ungkapan duka yang memdalam.

Hingga kini, Le Wuni masih berlaku di wamena, ia dinyanyikan pada upacara kedukaan. Bagi orang Wamena, Jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, secara adat Le Wuni wajib hukumnya bagi tuan duka maupun keluarga yang datang melayat.

Penerapannya, setiap keluarga atau siapapun yang datang melayat di kedukaan, awalnya akan disambut dengan sapaan khas, wa.. wa… wa..dan ikutannya (neak wa, nerop wa, nopase wa, naput wa… dst), (sitila-istila ini punya ariti masing-masing, bisa di bahas khusus ditulisan lain). Setelah disambut para pelayat akan mengangkat Le Wuni, sebagai ungkapan turut berduka cita, biasanya bisa satu atau dua syiair Le Wuni, sebaliknya tuan duka juga membalasnya dengan Le Wuni. Begitu terus untuk semua pelayat yang datang.  Biasanya dipinpin orang yang dituahkan, atau siapapun yang mahir le wuni.

Disini sang pemimpin Le Wuni akan mengngangkat Le Isa, dengan menceritakan beberapa kisa sedih yang berhubungan langsung dengan orang yang meninggal maupun keluarga duka, ada juga cerita semasa masih hidup, setela 2 sampai 4  kata, ada bagian tertentu yang akan diucapkan secara bersama-sama yang disebut dengan Le Ekake atau nyanyian bersama. Lw wuni biasanya dilantunkan sekitar 2-5 menit atas setiap orang yang datang ke duka.

Ada kelebihan tersendiri bagi pemimpin  Le Wuni untuk menciptakan Le Isa atau memimpin lagu tangisan bersama tersebut, Ia bisa secara spontan menciptakan syair bernada sedih dalam waktu singkat untu setiap orang yang datang melayat, syairnya akan berbeda beda untuk para pelayat. ini merupakan bakat alami yang hanya dimiliki orang Wamena dan daerah pegunungan lainnya. bisa memancing orang lain mersakan kesedihan dan mencucurkan air mata. Semakin sedih sang pemimpin le isa menciptakan lagu Le Wuni dan bermakna dalam, suasana dukapun makin mendalam, bahkan saking sedihnya sesekali ada anggota kelompok yang tibah-tiba bongkar menangis hingga berteriak di tenga-tenga le wuni.

contoh syair yang sering  dilantunkan misalnya:

“jika saja kao masi hidup, kita akan selesaikan rencana itu. Tapi mengapa kao pergi seceepat ini”,  “lahan ini tidak akan ditumbuhi rumput jika kao masih hidup, sekarang kalian suda pergi, lahan ini jadi milik rumput, siapa lagi yang akan melanjutkan” “kepergiatanmu menelantarkan anak-anak dan istri. Bagaimana nasib mereka?”

Dan masih banyak lagi syair. Bisa untuk kekhawatiran masa depan anak-anak yang ditinggal, untuk upacara-upacara adat yang biasanya dilakukan secara bersama-sama, bisa tentang pendidikan yang perna ditempuh, ada lewuni yang ditujuhkan kepada kaum perempuan, laki-laki, anak-anak, pemuda, atau untuk orang yang suda meninggal beberapa tahun silam, dan banyak lainnya. Cukup beragam. Semuanya dilantunkan dalam bahasa daerah Wamena.

Sang pemimpin le wuni memegang peranan penting dalam sebuah upacara adat keduakaan, cair tidaknya suasana duka, atau ada tidaknya air mata tergantung sang pemimpin le wuni dalam mengungkapkan le isa dengan syair lagu-lagu yang diciptakannya dalam waktu singkat itu.

Pengalaman yang ada, makin dangkal, makna dibalik syair yang terungkap dalam Le Wuni, air matapun makin sulit cucurkan, suasana kedukaan sulit dirasahkan. Kering. Satu keunikan lain yang terkandung dalam le wuni adalah kesedihan dan air mata tergantung makna ksesedihan yang tertuang dalam syiar pemimpin Le Wuni.

Selain saat kedukaan, di Wamena, Le wuni juga dilantunkan untuk beberapa upacara adat lainnya, misalnya pernikahan, ketika keluarga perempuan melepas seorang gadis untuk bersatu dengan suaminya, pesan dan nasehat untuk keluarga baru dititipkan melalui le wuni. Demikian juga untuk pihak laki-laki menyambut perempuan dengan le wuni. Menyambut sumbangan babi saat pernikahan adakalahnya dengan le wuni juga.  Ada juga le wuni untuk ungkapkan kebahagian tertentu.

Pada masa pemerintahan saat ini ini Le Wuni sering dinyanyikan juga untuk menyambut tamu terhormat, termasuk sambut kehadiran pemerintah, sebagaimana yang dilakukan para kepala kampung dan tokoh adat di Wamena ketika menyambut Presiden RI Joko Widodo di Lapangan Pendidikan Wamena tahun 2015 lalu.

Di erah globalisasi dan perkembangan jaman sekarang ini, budaya unik yang satu ini, lambat laun mulai tergerus dimakan jaman. Sebgaian besar para pemuda dan anak-anak usia muda di Wamena tidak bisa bersyiar untuk Le Wuni. Dibeberapa tempat duka yang penulis jumpai, rata-rata anak muda tidak mampu pimpin Le Wuni. Mereka menangis tanpa syair, menangis sendiri-sendiri “sambil tarik-tarik ingus” atau lap-lap air matanya pake lenso. Tidak ada satu pemimpin le wuni yang tampil.

Di bagian lain, satu keluarga tidak ada yang bisa bersyair le wuni, ketika ada duka menimpa keluarga tersebut, mereka sibuk cari orang yang bisa lagukan Le Wuni untuk menyammbut para pelayat yang akan datang.

Artinya, tanda-tanda bahwa, punahnya budaya Le Wuni itu suda ada di depan mata. Generasi setelah beberapa tahun yang akan datang mungkin saja tidak akan bisa sama sekali. Sala satu cara yang mungkin bisa dilakukan untuk melestarikan budaya Le wuni ini, barangkali pihak terkait bisa bikin ajang kompetisi lombah Le Wuni dalam Even budaya atau kegiatan budaya di sekolah-sekola. Ini saran saja dari saya. Terimakasih.

Penulis: Ronny Hisage